Thursday, February 7, 2019

Cita-cita

sumber gambar : @_katahatikita


Lula, Rahma dan Sarah, anak-anak perempuan kelas 3 di sebuah sekolah menengah pertama di desa Suka Mundur. Tidak seperti nama desanya, orang-orang di sini berpikiran maju. Termasuk ketiga anak ini, yang pada suatu sore duduk termenung bersama. 

Mereka berpikir tentang cita-cita. Hal ihwalnya adalah saat pelajaran Bahasa Indonesia yang diampu oleh Pak Dana. Guru yang identik dengan kacamata warna-warni itu menugaskan para siswanya membuat 1 tulisan berisi cita-cita mereka yang harus dilengkapi dengan beberapa alasan.

Lula yang sebelumnya tidak pernah berpikir tentang cita-cita akhirnya bergumam kepada kedua temannya "nanti aku bercita-cita menjadi guru. Alasannya sederhana, karena jadi guru itu gampang, cukup buka buku, baca yang ada didalamnya, lalu beri tugas atau PR ke siswa. Selain itu, bisa tidak datang berhari-hari, seperti guru Bahasa Inggris, Matematika, Olahraga dan lain-lain di sekolah kita ini. Eh, kok ternyata banyak yang sering ga hadir yah," Lula pun tertawa.

Rahma tak mau ketinggalan "aku ingin menjadi Tuan Putri yang menanti sang pangeranku datang. Sayangnya, sebelum sang pangeran menemuiku, dia harus melewati Nenek Lampir dengan sapu terbang dan kantong ajaibnya. Nenek Lampir ini kupilih dari rangkaian seleksi nenek-nenek tangguh. Tujuannya sederhana, ingin melihat seberapa tangkas dan cerdasnya pangeran yang akan mendampingiku kelak.

Lula pun menimpali Rahma. "Apa itu mungkin?"

Rahma dengan singkat dan yakin menjawab "Ga tau juga sih, namanya juga cita-cita. Bebas kan? Lagi pula nanti zaman Revolusi Industri melebihi generasi keempat, jadi bisa aja sih. 

Sarah mulai pusing ketika ditanya oleh kedua temannya, "aku masih bingung."

"Hm....," Rahma bergumam serupa intro lagu yang dipopulerkan Nisa Sabyan.

"Aku sederhana saja. Hanya bercita-cita jadi ibu rumah tangga. Ga mau sekolah, meskipun kebun berhektar-hektar. Aku, cukup menjadi perempuan menunggu seseorang yang ingin meminangku dan menjaga kebunku nanti," akhirnya Sarah ada ide.

Lula akhirnya menimpali "hahaha...ya juga sih, ujung-ujungnya kita jadi ibu rumah tangga yah. Eh, memangnya Sarah ada kebun?"

Sarah tersenyum sinis "hehehe, kan bagian dari cita-cita."

* * *
Tulisan ini diikutkan pada tantangan kesembilan @_katahatikita dengan tagar #katahatiproduction dan #katahatichallenge.


Penanggungjawab : @syahriiaan

Tuesday, February 5, 2019

Pengungsi Rohingya Hidup dalam Kotak



Setelah menghabiskan waktu di tempat tidur, aku memutuskan untuk mandi lalu mengenakan gamis dan jilbab berwarna hijau yang padu padan. Untunglah, setelah siap, Rini; sahabatku baru tiba. “Dia tidak butuh waktu lama menungguku,” gumamku lalu menuju keluar rumah.

Rini lalu mengemudikan motor memboncengku dari arah Darussalam menuju Peukan Bada. Hari itu, kami ingin mengikuti gelar wicara diadakan oleh komunitas Rumah Relawan Remaja dengan tajuk Jejak-jejak Pengungsi Rohingya di Bangladesh

Sekitar 30 menit, kami tiba di sebuah rumah berkonstruksi kayu berlantai tiga. Ada spanduk besar bertuliskan Sekretariat Rumah Relawan Remaja di depan rumah tersebut. Hal ini membuat Rini dan aku yakin bahwa kami tidak salah tujuan, sesuai dengan google maps yang sedari tadi jadi panduan.

Seorang perempuan muncul dan menyambut kami dengan senyum hangat.
“Mau ikut sharing session?” tanyanya.
“Iya kak,” jawabku singkat
Perempuan itu lalu mengantarku dan Rini menuju lantai 2. Di sana, sesi gelar wicara ternyata sudah dimulai.
“Sudah lama kak?” tanyaku pada perempuan yang akhirnya kuketahui bernama Ica
“Belum kok, baru sekitar 5 menit.”
Kami lalu duduk melingkar bersama para partisipan lainnya. Setelah kuhitung, ada sekitar  25 orang yang hadir. Aku lalu menyimak dengan saksama penjelasan tentang pengenalan komunitas yang disingkat 3R yang fokus pada pendidikan perdamaian, termasuk untuk mereka yang terdampak konflik dan bencana. Oleh karena itu, beberapa program untuk pengungsi Rohingya di Bangladesh juga  para relawan 3R lakukan sebagai bagian dari respon mereka.

Aku menangis melihat video berdurasi 20 menit tentang perjalanan para relawan di kamp pengungsi di Bangladesh yang diputar setelah penjelasan singkat tentang komunitas yang berdiri sejak tahun 2013 di Aceh itu. Pikiranku beramuk. Bagaimana bisa mereka dengan jumlah lebih dari 1 juta jiwa berada di kamp-kamp yang sangat kotor? Bagaimana bisa mereka tidak diperkenankan keluar dari batas kamp mereka? Bagaimana bisa mereka terusir dari Myanmar yang merupakan negara mereka sendiri dan harus melarikan diri ke Bangladesh; negeri seberang? Masih banyak pertanyaan lain yang muncul di kepalaku.

“Rini, adilkah dunia ini?” bisikku pada Rini saat pemutaran video telah usai.
Kulihat, mata Rini pun berkaca-kaca.
“Sepertinya tidak Mi, mereka bagaikan manusia-manusia dalam kotak, yang tidak boleh keluar dari batas yang telah ditentukan untuk mereka,” jawab Rini
“Yah, bibir mereka terkunci rapat tidak bisa bersuara, langkah mereka terbatas serta hidup mereka penuh ketidakjelasan karena tidak mendapatkan kewarganegaraan. Betul katamu, seperti hidup dalam kotak.”  Aku menimpali Rini.

Kami lalu terdiam sejenak. Aku pun menunggu giliran untuk mempertanyakan beberapa hal kepada para relawan selama mereka berada di kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh, sebuah negara miskin yang sepertinya pun terpaksa menerima arus pengungsi dari Myanmar.

* * * 
Ini adalah sebuah cerpen untuk menjawab tantangan kedelapan @_katahatikita dengan tagar #katahatiproduction dan #katahatichallenge

Penanggungjawab tantangan kedepalan adalah @arcotransep