Catatan
Pelatihan Rutin Forum Aceh Menulis ke-23
“Apa ini
bisa dikategorikan puisi?” tanya DR. Wildan saat meminta kami mendefinisikan
puisi.
“Iya,” jawab
kami para peserta Forum Aceh Menulis 23 sore itu.
“Kenapa?” tanyanya
lagi.
Mulailah
kami mengeluarkan beberapa jawaban.
* * *
Sore yang menyenangkan kemarin (27/12), saya
mengikuti kegiatan Pelatihan Rutin Forum Aceh Menulis (FAMe) di Kantor
Kesbangpol Aceh. Di sana saya bertemu dengan para pegiat literasi yang memacu
semangat saya lagi untuk mengembangkan bidang literasi, paling tidak untuk diri
saya sendiri dulu J
Oiya, pemateri di Pelatihan Rutin FAMe ke-23
kemarin itu adalah Dr. Wildan Abdullah M.Pd, Wakil Rektor 1 ISBI Aceh dengan
materi Teknik Menulis Puisi. DR. Wildan
membawakan materi dengan menarik yang membuat peserta lebih interaktif dan
semakin memahami “dunia dalam kata”. Berikut ulasan singkat materi Teknik
Menulis Puisi dari DR. Wildan
Puisi disebut-sebut sebagai karya sastra tertua yang pada mulanya berwujud wujud mantra, lalu dalam perkembangannya berubah menjadi pantun, gurindam, syair dan sebagainya. Puisi merupakan sesuatu yang dicipta, itulah yang disebut sebagai sastra. Dimana sastra merupakan satu dari tiga jenis karya tulis. Yang lainnya adalah tulisan yang merupakan hal yang sesungguhnya terjadi (misalnya sejarah dan karya ilmiah) dan tulisan khayal (imajinatif dan fantasi). Adapun ciri-ciri puisi adalah”1. Saat ditulis, puisi tidak memenuhi margin kertas2. Merupakan karya sastra yang bersifat universal3. Menggunakan diksi (kata pilihan)Penggunaan kata ini semakin indah jika membentuk rima/persajakan. Contohnya potongan sajak dari Rustam “bukan beta bijak berperi”4. Menciptakan daya bayang (imaji) tinggiSeusai memaparkan materi dan membacakan puisi Chairil Anwar berjudul Senja di Pelabuhan Kecil, seorang peserta diminta membacakan puisi WS Rendra berjudul “Dimana Kamu De’ Na?” sebuah puisi mengenang Tsunami 2004.
Dimana Kamu De’ Na?Akhirnya berita itu sampai kepada saya:Gelombang tsunami setinggi 23 metermelanda rumahmu.Yang tersisa hanya puing-puing belaka.Di mana kamu, De’Na?Sia-sia teleponku mencarimu.Bagaimana kamu, Aceh?Di TV kulihat mayat-mayatyang bergelimpangan di jalan.Kota dan desa-desa berantakan.Alam yang murkamanusia-manusia terderadan sengsara.Di mana kamu, De’Na?Ketika tsunami melanda rumahmuapakah kamu lagi bersenam pagidan ibumu yang jandalagi membersihkan kamar mandi?De’Na, kita tak punya pilihanuntuk hidup dan mati.Namun untuk yang hidupkehilangan dan kematianselalu menimbulkan kesedihan.Kecuali kesedihan, selalu ada pertanyaan:kenapa hal itu mesti terjadidengan akibat yang menimpa kita?Memang ada kedaulatan manusia, De’Na.Tetapi lebih dulusudah ada daulat alam.Dan kini kesedihanku yang dalammembentur daulat alam.Pertanyaanku tentang nasib inimerayap mengitari alam gaib yang sepi.De’Na! De’Na!Kini kamu menjadi bagian misteriyang gelap dan sunyi.Hidupku terasa rapuholeh duka, amarah, dan rasa lumpuh.Tanpa kejernihan dalam kehidupanbagaimana manusia bisa berdamaidengan kematian?De’Na, hatiku menjerit pilu.Di mana kamu? Bagaimana kamu?Yang tak bisa kutolak dalam bayangan,meski mataku terbuka atau terpejam,adalah gambaran orang banyak berlarian,dikejar gelombang 23 meter tingginya.Dan lalu gempa yang menenggelamkangedung-gedung tinggi,membelah jalan raya,menjadi jurang menganga.Ribuan manusia menjadi sampahdalam badai.Kedahsyatan daulat alam, De’Na!Bukan sekedar kematian!Inilah yang membuat aku gemetaran!Tanpa menyadari iniapakah arti kebudayaan?Apakah pula arti puisi?Hidup dan segala usaha manusiabarulah berarti dan nyatabila ia menyadari batas kemampuannya.De’Na,apakah sekarang kamu lagi tersenyummembaca sajakku semacam ini?Puisi yang dibacakan kemarin penuh penghayatan. Membuat saya berkaca-kaca, termasuk kak Icut, teman baru saya.
Overall, saya bahagia dan banyak belajar mengikuti pertemuan kemarin. Semoga pekan depan pertemuan menyenangkan dengan tema lainnya juga akan punya cerita tersendiri di hati saya. Terima kasih teman-teman FAMe untuk kesempatan berharga ini.
foto bersama narasumber |
0 comments:
Post a Comment