Thursday, April 20, 2023

Mengembangkan Budaya Baca Tanpa Diskriminasi

Dokumentasi Rumah Relawan Remaja

Dua pekan lalu, saya kembali mengunjungi salah satu desa terpencil di Pulo Breuh (sebuah pulau terpencil di Aceh) bernama desa Lapeng. Di desa tersebut, program Pustaka Kampung Impian telah diinisiasi Komunitas Rumah Relawan Remaja sejak tahun 2016 hingga kini. Program Pendidikan alternatif ini dilaksanakan dengan mengirimkan para fasilitator secara rutin sebagai relawan pada berbagai kelas dan mendatangkan buku-buku bacaan yang menarik. Program ini hadir melihat tidak adanya pustaka yang bisa menjadi sarana belajar untuk anak-anak desa demi membuka akses pengetahuan yang lebih layak, yang seharusnya mereka terima sebagai anak-anak bangsa.

Acapkali, ketika saya dan teman-teman kesana datang, kami membawa buku-buku baru yang didapatkan dari hasil donasi orang baik yang tersebar dari berbagai penjuru negeri. Saat menurunkan buku-buku tersebut, anak-anak desa Lapeng langsung menunjukkan antusias membaca buku-buku yang ada. Anak-anak yang belum bisa membaca pun, namun tertarik pada gambar di buku tersebut, terkadang menarik para relawan untuk dibacakan buku.

Pernah suatu ketika, kami tidak membawa buku. Ada anak yang bertanya “Kak, kenapa tidak bawa buku baru?” Ada juga bertanya “Kapan kakak bawa buku lagi? Buku yang ada di sini sudah kami baca.

”Pertanyaan dan ungkapan itu sederhana bagi sebagian orang. Tapi tidak bagi saya, pun bagi relawan lain. Ini memberikan kesan mendalam bahwa banyak diantara mereka yang memiliki kecintaan pada buku dan selalu haus pada pengetahuan baru. 

Hingga akhirnya, saya sering berkata bahwa pustaka kecil yang komunitas kamu bangun dengan hati lapang dan dibantu oleh masyarakat setempat, terus berusaha mendekatkan buku-buku bacaan demi mengembangkan budaya baca tanpa diskriminasi, untuk mereka : anak-anak dan masyarakat di desa terpencil. Karena  buku bacaan yang layak sebagai bagian dari pendidikan yang layak, harus didapatkan oleh siapapun, baik yang tinggal di kota, maupun di desa

Aceh, 27 November 2020

Tuesday, June 28, 2022

Membicarakan Sebuah Buku Permakultur dan Mengingat Sekilas Pengalaman Masa Lalu

 


Senin pagi, 27 Juni 2022, kami para relawan 3R berkumpul dengan penuh semangat. Pagi ini, kami akan membicrakan sebuah buku bertemakan permakultur. Buku dengan tema ini kami ulas karena terkait dengan keinginan mempelajari dan mempraktikkan lebih banyak tentang pertanian berkelanjutan.

 


Uma sebagai pemantik diskusi sekaligus pembahas buku berjudul A Facilitator’s Handbook for Permaculture yang diterbitkan oleh IDEP Foundation ini membahas secara detail permakultur yang merupakan pengelolaan pertanian dan peternakan yang mengusung konsep ramah lingkungan. Dalam buku tersebut juga, dibahasakan bahwa permakultur juga dipandang sebagai filsafat hidup karena selain memperhatikan unsur manusia, juga memperhatikan keselarasan alam secara luas. Masyarakat sekitar juga dilibatkan terkait pengetahuan lokal setempat, misalnya tentang tanaman yang bisa ditanam pada cuaca-cuaca tertentu.

 

Dalam buku yang tebal tersebut, Uma berusaha menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti apalagi di dalam buku tersebut juga menjelaskan secara rinci tentang desain hingga unsur-unsur penting yang mendukung penerapan permakultur yang memiliki banyak manfaat ini.

 

Setelah pengulas buku menjelaskan, sesi diskusi dan tanya jawab dibuka. Ragam pengalaman juga disampaikan oleh para relawan Rumah Relawan Remaja (3R). Ada yang merasa sulit untuk menerapkan dikampungnya dulu, karena semua sekarang terkesan dipermudah oleh pupuk non organik, apalagi hasil-hasil dari pertanian tersebut digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Ada juga yang sangat concern dengan rekayasa bibit yang pernah dilakukannya dulu, sehingga pembahasan kali ini membuatnya lebih semangat untuk bisa mengulang pengalaman berharganya tersebut. Ada lagi yang bernostalgia dengan pengalaman masa lalu di rumah nenek di kampung, dimana semua terasa indah ketika saat itu kebun nenek di belakang rumah, mau makan sayur, tinggal petik dan sangat segar dihidangkan.



* * *

Sekilas pengalaman masa lalu ini juga menjadi harapan untuk bisa menerapkan permakultur meski di lahan yang tidak terlalu luas. Harapan untuk menjadi bagian dari pertanian berkelanjutan ini terus ada. Apalagi, di 3R, saat ini, kami memiliki tim yang sedang fokus mempersiapkan lahan permakultur tersebut. Semoga pengalaman, berbagai bacaan dan penerapan di lahan 3R menjadi penguat untuk mengaplikasikan konsep permakultur tersebut.  

Saturday, July 3, 2021

Rangkuman Bacaan Buku Bulan Juni

 


Dalam perjalanan melintasi Aceh, Bali, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat bulan ini, saya bersyukur masih bisa menyelesaikan 4 buku, berjudul Seni Mengelola Waktu dan Seni Berpikir Positif yang ditulis oleh Brian Adam, The Power of Ideas dan 21 Hari Mengubah Kebiasaan Buruk.

 

Seni Mengelola Waktu

Buku yang ditulis oleh Brian Adam ini merupakan buku panduan yang bisa diterapkan oleh individu-individu yang mau memaksimalkan waktu dan kesempatan yang dimilikinya. Didalam buku ini dijelaskan bagaimana mengoptimalkan aktivitas di waktu yang terbatas, kemampuan untuk mengatur aktivitas prioritas, kemampuan mengelola waktu pribadi, keluarga atau urusan lain, kemampuan untuk berkata tidak dalam mengiyakan berbagai ajakan/ perintah orang serta rangkaian kata motivasi untuk menyemangati pembaca dalam mengelola waktu dengan baik.

 

Seni Berpikir Positif

Buku ini juga ditulis oleh Brian Adam yang merupakan penulis, konsulatan dan motivator freelance.

Buku ini terdiri dari 19 bagian yang dimulai dari pertanyaan “mengapa harus berpikir positif?” Didalamnya beragam jawaban yang saya temukan tidak hanya di bab pembuka ini, tetapi juga bagian lainnya, misalnya dengan jawaban “kita perlu berpikir positif agar kamu mendapatkan hasil yang positif. Berpikir positif akan membuatmu fokus pada hal-hal positif.”

 

Selanjutnya, buku ini membahas strategi berpikir positif yang dimulai dari langkah-langkah sederhana, seperti mulai berpikir positif dari diri sendiri dengan membangkitkan motivasi, tidak memaksakan diri sendiri dan mengenali diri. Selain itu, ada strategi “berpikir mungkin” , yang akan mendorong kita mencoba sesuatu yang baru, mencari alternate solusi dan mencari dukungan

Di buku ini ditekankan bahwa seni berpikir positif harus terus dilatih karena ini adalah solusi kedamaian bagi setiap manusia

 

Ada 2 buku lagi, bisa ditonton selengkapnya di Ammy Mengulas Buku Episode 60

Monday, May 10, 2021

Catatan dari Webinar “Road To Ikigai”




Minggu, 18 April 2021, bersama Salam yang sedang mengajak Umminya ini bermain bersama, saya mengikuti webinar dari IKIGAI Consulting yang berjudul Road To Ikigai.

 

Secara definisi dan pemahaman, saya sudah mengerti sekitar 80 % IKIGAI. Ini berdasarkan hasil penilaian sebelum mengikuti sesi webinar ini, dengan mengisi beberapa pertanyaan pengantar.

 

Meskipun begitu, saya mendaftar mengikuti webinar ini untuk lebih memahami filosofi orang-orang Jepang ini. Ada beberapa narasumber dalam webinar ini. Saya pun merangkum beberapa catatan atau kutipan dari masing-masing narasumber, sebagai berikut :

 

Dr. Jiemi Ardian Sp. KJ

IKIGAI adalah journey of giving impact

Seseorang yg memiliki tujuan hidup, mungkin ada penderitaan, tapi ada kekuatan untuk bertahan. Tujuan ini memang tidak menghilangkan penderitaan, tapi menjadi alasan untuk bisa bertahan.

Bagaimana kita menjadi “menerima:, kita perlu melihat apa yang terjadi kalau kita tidak menerima. Jadi, di sini, Kita belajar menoleransi dan penasaran dengan sepenuhnya. Ini adalah proses.

Kalau kita menerima, justru ada ruang diri untuk terus berproses menjadi diri lebih baik.

Luangkan waktu setiap pagi untuk hidup di saat ini. Sehingga membawa itu dalam keseharian untuk menghidupi hidup saat ini.

 

Rahayu Saraswati

Mengetahui siapa dan tujuan hidup sangat penting (mental perseverance). Ini akan seperti kompas. Apalagi there is only “one” us.

Dengan memikirkan itu, kita akan sadar bahwa Tuhan menciptakan kita karena sesuatu. Ini yang kemudian membantu mental foundation

 

Yosia Lesmana (enterpeneur)

Kita perlu memotivasi diri secara internal. Ini lebih pada pilihan, misalnya ketika memilih A, bukan salah atau benar tapi tahu apa yang saya pilih. Hidup itu bukan untuk mencari pembenaran orang, tapi untuk bilang “I love my self” dan bahagia sudah tiba di titik ini.

Kita hanya perlu kenal diri, tentang apa yang kita suka, tentang apa yang relate dengan diri kita. Motivasi yang perlu dicari adalah komitmen



Wednesday, April 28, 2021

Review Buku “24 Kisah Pendidik Rumahan Selaras Fitrah”

 


Mendidik anak itu sesungguhnya bukan “too much teaching” atau “outside ini ” namun justeru lebih banyak inside out yaitu membangkitkan dari dalam jiwa, dalam hal ini jiwanya. Ketika fitrah ini bangkit, maka semua kebaikan akan datang. Ini adalah kalimat pembuka dari Ustaz Harry Santosa yang mencetuskan Fitrah Based Education atau Pendidikan Berbasis Fitrah , guru kehidupan dari para penulis buku ini.

Buku yang ditulis oleh 29  penulis (ada yang suami istri dalam 1 tulisan) berisi 24 cerita pola pengasuhan menggabarkan fitrah mendidik selaras fitrah. Saya akan share beberapa cerita dalam buku ini. 

Cerita pertama dari keluarga Bu Ainul Luthfiana yang tinggal di Kediri yang mengisahkan perjalanan keluarganya begitu berwarna, tapi dianggap tak lazim oleh lingkungan termasuk keluarga besar.

Cerita lain yang ingin saya bagikan adalah dari keluarga kak Esti Wulansari. Kak Esti ini yang memberikan saya buku untuk didonasikan ke perpustakaan Rumah Relawan Remaja. Tulisannya berjudul Keluarga Merdeka-Damai. Di sini dibahasakan tentang Rindu, anak kak Esti yang merasa tidak nyaman di sekolah. Masalah inilah yang menjadi jalan untuk mulai serius dengan pendidikan rumah ini. Hingga akhirnya, kak Esti bersama Praktisi Talents Mapping lainnya mendirikan Home Education Aceh sebagai ladang menggarap berbagai kegiatan menstimulasi anak-anak sehingga potensi fitrah mereka kelihatan.

Selengkapnya bisa ditonton di channel Rahmiana Rahman, dalam segmen Ammy Mengulas Buku https://www.youtube.com/watch?v=cphj3kvdbbg&t=57s 

Wednesday, April 21, 2021

Terampil Mengajar di Era Digital

 


Jumat, 16 April 2021, saya diundang sebagai Ketua Rumah Relawan Remaja sekaligus Sekretaris Forum Taman Baca Provinsi Aceh, untuk menghadiri Grand Launching Modul Literasi Digital yang dilaksanakan oleh Kominfo dan Siberkreasi.

Acara yang dihelat secara bersar dan bersamaan 5 kota ini, dimulai dengan talkshow. Di Aceh, untuk sesi talkshow pertama, ada 3 narasumber. Mereka adalah Pak Martunis  (Kepala Sekolah Sukma Bangsa), Pak Ramadan (Guru Sukma Bangsa) dan Pak Ahmadani Kepala Bidang SMA/SMK Disdik Provinsi Aceh.

Saya ingin menggaris bawahi beberapa hal dari presentasi para narasumber terkait terampil mengajar di era digital. Tentu saja semoga bisa menjadi inspirasi untuk saya dan juga pembaca blog ini.

Dalam paparannya, Pak Martunis mengatakan bahwa akselerasi transformasi digital menjadi lebih cepat terlaksana karena pandemi. Yang perlu dilakukan saat ini adalah shifting the mindset, apalagi anak-anak saat ini adalah digital native. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya sebuah penelitian dilakukan oleh European Comission dilaksanakan di 31 negara Eropa terkait penggunaan ICT. Penelitian itu menunjukkan bahwa guru-guru yang cenderung punya kemampuan ICT yang cukup baik dikenal sebagai guru yang menyenangkan.

Ada juga Pak Ramadani dengan semangat memberikan beberapa platform yang bisa menjadi inspirasi bagi guru sehingga kelas bisa lebih menyenangkan. Apalagi di era pandemi saat ini. Guru ini benar-benar mengaplikasikan bahwa terampil mengajar adalah memberikan akses pembelajaran sesuai zamannya.


Satu lagi pemateri dari pemangku kebijakan yaitu Pak Ahmadani, memaparkan bahwa sistem pembelajaran saat ini baik yang luring dan daring, tetap berjalan lancar. Sayangnya kondisi pandemi dan juga pengembangan literasi digital menemui beberapa kendala di Aceh, semisal pengetahuan guru yang saat ini sudah berusia lanjut serta banyaknya anak-anak yang belum menguasai IT.

Poin terakhir, sangat saya sepakati. Kondisi dimana anak-anak belum menguasai teknologi. Ini tentu terjadi di beberapa daerah terpencil yang kulihat secara langsung. Boro-boro mau mengerti teknologi, perlancar huruf demi huruf saja butuh usaha yang luar biasa. Yah, meskipun begitu, kita tak boleh putus asa. Terus bergerak adalah kunci demi melihat bangsa ini menjadi bangsa yang lebih literat.



Friday, March 12, 2021

Review Buku Catatan dari Tepi Hutan

 


Ini adalah buku yang ditulis oleh Bambang Supriyanto yang merupakan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan di Kementerian LIngkungan Hidup dan Kehutanan sejak 2017.

 

Buku berisi perspektif personal ini terbit pada tahun 2019 diterbitkan oleh Tempo Publishing. Dimulai dari rangkaian perjalanan singkat pak Bambang sebagai Kepala Biro Perencanaan yang kemudian mengikuti seleksi menjadi Direktur Jenderal. Proses seleksi digambarkan di sini. Di satu sisi, ini bagus bisa memberi pengetahuan bagi public proses naik jabatan ke Eselon 1, tapi sebagai pembaca saya merasa bagian ini terlalu banyak.

 

Meskipun begitu, halaman-halaman selanjutnya pembaca akan dibawa melihat kembali tujuan utama dari perhutanan sosial adalah memberikan akses kepada masyarakat dalam mengelola hutan. Apalagi selama 32 tahun sejak 1970 akses mengelola hutan sepenuhnya diberikan kepada korporasi yang secara praktis membuat masyarakat yang sudah hidup di dalam Kawasan hutan sejak sebelum Indonesia merdeka tak punya hak. Beragam tantangan diberikan bahkan sejak pelantikan, tapi bagi pak Bambang dengan niat bahwa beban kerja bukan halangan, tapi tantangan yang perlu solusi. Selanjutnya, Pak Bambang pun rutin mengumpulkan para direktur Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan dalam breakfast meeting, membentuk Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial serta mengembangkan kolaborasi dengan berbagai pihak.

Selengkapnya bisa ditonton di link youtube Rahmiana Rahman Segmen "Ammy Mengulas Buku"