Selanjutnya,
saya mau cerita tentang Ramadan hari ke-21, masih di Kebun Impian bersama
keluarga kesayangan Rumah Relawan Remaja. Hari itu, seperti biasa, yang piket
masak mencari sesuatu di area kebun untuk dimasak. Senang sekali, kita bisa
juga saling mengingatkan tentang pentingnya real food, apalagi from garden to
table seperti yang kami lakukan di Kebun Impian ini
Hari ke-21 Ramadan tiba dengan cahaya
matahari yang hangat menyelinap melalui celah daun-daun rindang di Kebun
Impian. Udara pagi masih segar, membawa aroma tanah basah dan dedaunan hijau
yang baru saja dibasahi embun. Seperti biasa, tim Rumah Relawan Remaja—aku,
Bang Romi, Salam, Lubna, Uma, Abu, Yanah, Maulidin, dan Afdhal—sudah bersiap
mengisi hari dengan aktivitas penuh makna.
Hari ini, giliran Uma dan Putri yang bertugas
memasak untuk sahur dan berbuka. Tapi di sini, masak bukan sekadar membuka
kulkas atau belanja ke warung. Kami punya kebun sendiri, penuh dengan sayuran
segar yang siap dipanen. From garden to table—prinsip yang kami pegang
teguh di sini.
Saat sore, Uma sudah siap dengan keranjang
kecil memetik terong yang akan dibuat Terong Krispi. Putri sudah di dapur
menyiapkan kayu bakar untuk kompor tradisional. Terong di kebun tumbuh dengan
sangat baik. Dan setiap ke sini, terong ini
menjadi salah satu santapan nikmat kami di meja.
Aku tersenyum melihat tim relawan bersemangat
memasak apalagi momen ini adalah momen menyiapkan buka puasa bersama. Ada
kebahagiaan berbeda ketika memetik sendiri bahan makanan yang akan kita masak.
Tidak hanya lebih segar, tapi juga ada rasa syukur yang mengalir pelan. Inilah real
food, pikirku. Makanan yang tumbuh alami, tanpa pestisida kimia, dipanen
dengan tangan sendiri, lalu diolah dengan hati.
Aku memperhatikan mereka juga dengan haru. Di
tengah dunia yang serba instan, momen seperti ini mengingatkan kami untuk
melambatkan waktu, menikmati proses. Bang Romi membantu memotong sayuran,
sementara Lubna dan Salam bertugas mencuci bahan-bahan yang baru dipetik. Suara
pisau beradu dengan talenan, desiran minyak di wajan, dan gelak tawa kecil kami
memenuhi ruangan.
"Subhanallah, enak banget!" seruku
saat makan bersama.
Aku mengangguk pelan. Memang ada perbedaan
besar antara makanan yang diolah dari bahan segar langsung dari kebun dengan
yang sudah melalui proses panjang distribusi pasar. Rasanya lebih hidup, lebih
nyata.
Di tengah makan bersama, Bang Romi
mengingatkan kami tentang pentingnya real food—makanan alami yang tidak hanya
menyehatkan tubuh, tapi juga menjaga kelestarian bumi. "Kalau kita bisa
menanam sendiri, kenapa harus tergantung pada produk kemasan yang belum tentu
sehat?" ujarnya.
Pada akhirnya, from garden to table bukan
sekadar konsep di Rumah Relawan Remaja—ia adalah gaya hidup yang mengajarkan para
relawan untuk bersyukur atas setiap karunia alam yang tersedia.
Pulo Aceh, 21 Ramadan 1446
Hijirah
0 comments:
Post a Comment