Akhir-akhir ini saya banyak
membaca berbagai tulisan tentang Women
Empowerment, salah satunya Suaraku,
Ekspresiku.
Suaraku, Ekspresiku yang merupakan kumpulan tulisan Nurul Imi
Idrus, seorang guru besar pertama perempuan di Fisip-UNHAS sekaligus sebagai
kolumnis tetap di Koran Harian FAJAR sejak tahun 2007.
Buku Suaraku, Ekspresiku ini sangat menarik karena menggunakan
bahasa yang ringan namun mengandung banyak pesan dan kritik. Banyak hal yang
dibahas dalam buku ini, bukan hanya persoalan perempuan tetapi hal-hal umum
yang mengandung pengetahuan. Mulai dari Pemilu, Korupsi, Seksualitas,
Perempuan, Suami-istri, Hari Yang Fitri, Dinamika Kehidupan, Kimia Dan Kemanusiaan, Onlining, Geliat Waktu, Imajinatif dan Tahun
Baru
kenapa tidak banyak perempuan ataupun pasangannya yang merasa bangga dengan status istri sebagai ibu rumah tangga? Ini sepaptutnya menjadi bahan renungan! Kehidupan di dunia ini sesungguhnya penuh dengan pilihan-pilihan dimana perempuan juga bebas menentukan apa yang diinginkannya. Apakah seorang perempuan ingin menjadi seorang ibu rumah tangga atau berkarir, sama saja nilainya sejauh itu merupakan pilihan bebasnya, bukan pilihan/tekanan orang lain. It’s the matter of choice, so why not proud to be a housewife!
Penggunaan istilah-istilah dalam bahasa bugis juga menambah khazanah
pengetahuan bahasa bugis kita, misalnya bisa dilihat ditulisan berjudul
Anarki-Lektualitas (296)
Ada pepatah Bugis yang menyatakan “nakko de’ siri’mu engka mussa pessemu,” yang bermakna bahwa jika tak punya rasa malu (siri’) maka paling tidak milikilah rasa solidaritas sosial (pesse’) terhadap apa yang terjadi di sekeliling kita yang terganggu akbiat demo.
Menurut saya, dari awal hingga akhir tulisan, sang penulis
mengajarkan kita cara mengkritik sebagai bagian ekspresi, khususnya kita
sebagai perempuan.
0 comments:
Post a Comment