“Itu dulu
Bang. Kami ini kalau di kota tidak mau susah. Kalau di kampung begini ada
mobil, kami tinggal naik mobil saja, ngapain jalan!”
Begitulah pernyataan seorang muda yang
katanya anggota mapala. Ini yang ingin menjadi highlight di bagian ini. Perkara
anak muda yang mengaku mapala, tapi gaya-gayaan. Menjadi anggota mapala itu,
sebenarnya “mencari susah”. Kalau mau mudah, ngapain gabung di mapala?
Ringkasnya demikian! Meskipun begitu, dari “mau susah” ini kita jadi paham
berbagai kondisi medan dan mudah berbaur.
Lah ini, jangankan berbaur, medan
kegiatan aja tidak kenal, bahkan jadi gunjingan warga karena pakaian dan tawa
yang terbahak-bahak!
* * *
Aku teringat, saat awal mula gabung mapala,
seniorku sering mengajakku ke mapala-mapala lain, agar mudah berbaur. It
worked. Termasuk saat ikut TWKM XXII dan dipilih sebagai salah satu
Presidium Sidang untuk Temu Wicara. Duh, siapa yang tidak kenal Ozon kala
itu? Hahahaha, bukan bermaksud sombong, tapi bisa di titik itu karena binaan
senior yang banyak berbagi ilmu dan pengalaman. Ditambah lagi, berbagai materi penting
yang tidak kudapati di bangku perkuliahan.
Jadinya, kalau bertemu dengan anggota mapala
itu, semuanya langsung berbaur. Ada keterikatan batin, bahkan meskipun dari
provinsi berbeda. Sebut saja misalnya, saat aku mendaki Gunung Semeru di tahun
2013 bersama beberapa relawan Sahabat Indonesia Berbagi (SIGi) Makassar,
jejaring Mapala yang membuatku “punya rumah” dimana-mana. Dari sekret ke
sekret, mengenal saudara saudari mapala yang siap membantu dimana saja. Contoh
lain saat aku selesai ikut pelatihan Just Write yang diadakan oleh Diva Press
di Jogjakarta, aku menghubungi temanku yang datang dari Semarang dan
mengantarkanku hingga puncak Gunung Merapi kala itu. Semudah itu.
Alhamdulillah, ini semua karena proses bergaul asyik yang banyak kulihat dan
kudapati di mapalaku, SINTALARAS.
* * *
Kembali
pada segerombolan muda yang kutemui beberapa hari lalu yang terdiri dari
beberapa anggota mapala dan simpatisan. Pertemuan dengan mereka semoga memberi
kita peringatan sebagai mapala, bahwa :
-
Anak mapala itu sebelum datang ke sebuah Lokasi
sebaiknya menanyai masyarakat setempat do and don’t
-
Anak mapala itu berbaur, apalagi dengan masyarakat
desa seperti di desa kami ini. Kalau hanya hahaa hihihi huhuhu, ngapain
jauh-jauh ke desa kami.
-
Anak mapala itu paling ga ketika di desa, berilah
sebuah kontribusi. Apa kek, tanam pohon kek, bagi bibit atau buat
kegiatan menyenangkan bersama anak-anak. Kalau kalian hanya foto-foto, kami ini
hanya object dong?
-
Cek organisasi di desa yang akan dituju! Caranya
gampang kan, teknologi yang ada memudahkan untuk mencari. Jangan hape aja yang
pintar!
-
Yang paling penting, anak mapala itu paham Kode
Etik Pencinta Alam. Hayo, hapal ga!!!
Demikianlah
kira-kira curhatan kegelisahan melihat beberapa penampakan anggota mapala
sekarang. Come on, zaman mungkin saja beda, pilihan metode komunikasi
pun mungkin beda! Namun, pemahaman tentang tahu medan, kearifan local dan adat
istiadat masyarakat setempat, tetap harus menjadi salah satu dasar ketika akan
berkegiatan, baik kamu yang sudah gabung di tahun 2006, pun kamu yang bergabung
sebagai anggota mapala di tahun 2021.