Sebelum
pulang ke lokasi kamp dua perempuan muda tersebut, aku berkata “nanti minta
tolong para anggota laki-laki datang aja ke sini untuk angkut air, biar nanti
kalian mudah pakai air!
Tak lama kemudian, salah satu dari mereka datang. Dia berniat mengangku air dari sumur. Saat itu, aku dan suami sedang menyeruput kopi yang sudah kami buat.
Suamiku
berkata “kalian masih nginap di belakang?”
“Tidak
lagi Bang. Kami sedang packing mau ke desa lain!”
“Oh,
kalau begitu tidak usah menimba lagi. Sini aja duduk, kita ngopi!”
Aku pun
mengambil sebuah gelas kosong. Suamiku membagi dua kopi hitamnya, lalu
menyodorkan gelas kepada mahasiswa anggota mapala tersebut.
Kami lalu
bercerita banyak. Apalagi suamiku memang mengenal banyak senior dari anggota
mapala tersebut. Dulu pun, suamiku yang sudah menjadi anggota mapala di
kampusnya sejak 2006 sering berkunjung ke mapala orang muda yang kami sedang
ajak mengobrol ini.
“Kalian
tidak ada koordinasi! Padahal di zaman sekarang, sangat mudah menemukan kontak.
Mudah saja sebenarnya kami mengizinkan kalian di kebun ini tinggal, tapi kebun
ini juga punya aturan dan secara organisasi tentunya perlu etika organisasi, tidak
ujug-ujug datang!” Begitulah kata-kataku padanya.
“Terus,
kalau kalian hanya 1 malam di sini, apa yang kalian mau lihat, apalagi kalau
kegiatan kalian judulnya Jurnalistik Lingkungan, kecuali kalian hanya
main-main!” Begitulah suamiku. Kontennya bermaksud menanamkan pada Gen Z ini
tentang pola berkegiatan.
Sebenarnya,
masih banyak yang ingin kucurhatkan, tapi akan kututup kisah ini di bagian
keempat. Semoga menjadi catatan pengingat bagaimana seorang mapala itu!
0 comments:
Post a Comment