Sebuah
Refleksi Hari Kartini dan Hari Bumi
Stella, saya tahu jalan yang hendak saya tempuh ini
sukar. Banyak duri dan halangannya. Begitu pula banyak lubangnya. Jalan itu
berbatu serta berliku-liku. Jalan itu belum dirintis. Dan biarpun saya tidak
beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, saya akan
mati dengan perasaan bahagia sebab jalannya telah dirintis.
(Kutipan Surat Raden Ajeng Kartini kepada Stella,
salah seorang teman korespondensinya).
Melihat salah satu kutipan surat diatas, seyogyanya
menggelitik ketika peringatan hari lahir Kartini hanya dimaknai dengan peragaan
pakaian adat tradisional ataupun beraneka ragam perayaan yang bermakna
seremonial belaka. Padahal, sumbangsih yang diberikan oleh salah satu pahlawan
nasional ini adalah pemikiran yang dituangkan dalam argumentasi sebagai isi
surat-suratnya. Argumentasi yang berupa gagasan untuk terlepas dalam penjara
patriarki sehingga perempuan dan laki-laki mendapatkan kesempatan yang sama, khususnya
pendidikan.
Perjuangan yang dilakukan Kartini, pun dengan para
pahlawan perempuan Indonesia lainnya seperti Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia,
Dewi Sartika atau Rasuna Said, menunjukkan jalan terang dalam membuka cakrawala
dan kesempatan dalam ranah yang disebut keadilan. Perjuangan inilah yang
mengantarkan banyak perempuan memperoleh kesempatan yang sama dalam banyak hal,
misalnya pendidikan, pekerjaan, sosial maupun lingkungan. Yang menjadi
pertanyaan besar, apakah kesempatan itu sekarang benar-benar sama? Tentu saja
belum. Tapi, Kartini seyogyanya tetap bahagia karena jalan yang telah
dirintisnya sudah terbuka, sesuai dengan isi suratnya kepada Stella.
Ada dua faktor dalam era postmodernisme ini yang
menyebabkan keadilan itu belum seutuhnya berpihak pada perempuan.
Pertama, dominasi sistem top-down yang menghegemoni
kepentingan menutup akses sistem bottom-up sebagai salah satu
ciri demokrasi yang diagung-agungkan. Kebanyakan pengambil kebijakan masih
menganggap bahwa perempuan adalah second sex yang mengikuti
semua keputusan yang telah disepakati. Kesempatan yang diberikan belum
sepenuhnya terbuka secara lebar. Perspektif inilah yang menutup pintu keadilan
itu.
Kedua, kesempatan yang tidak bersambut. Hal ini
ditujukan untuk para perempuan. Kesempatan yang ada bisa saja dilihat dari kaca
mata yang lebih luas. Banyak pintu terbuka, entah berupa celah sempit atau pun
luas, yang belum dilihat secara jeli. Disinilah, kemampuan sebagai perempuan
harus ditonjolkan , apalagi untuk keluar dalam paradigma apatis, hedonis dan
pragmatis. Perempuan harus menunjukkan kemampuannya dalam banyak hal, sehingga
mata dunia bisa terbuka, ini loh kami, para Kartini Abad-21.
Kemampuan perempuan dalam banyak hal itu, misalnya
terjawantahkan dalam bidang lingkungan. Salah satunya adalah menjaga bumi
sebagai sebagai tempat yang harus terpelihara sehingga memungkinkan manusia
untuk “menumpang” lebih lama lagi.
Pada sebuah kesimpulan penelitian berjudul Gender
dan Konservasi Sumber Daya Alam di Lembang Turunan, Kabupaten Tana Toraja yang
ditulis oleh Novaty Eny Dungga, mengungkap bahwa kearifan perempuan dalam
pemanfaatan sumber daya alam, terutama di dalam rumah tangga menjadi sangat
dominan. Pergeseran peran sudah mulai terlihat di kalangan masyarakat di
Lembang Turunan. Hal ini diharapkan dapat memberi ruang yang lebih luas pada
peluang kerjasama antara perempuan dan laki-laki. Prinsip ma’bage rata dalam
masyarakat Toraja di sini sangat berarti dalam mempertahankan kelestarian
sumber daya alam di daerah tersebut.
Hasil penelitian ini menjadi sebuah contoh bahwa
untuk memperoleh keadilan, tidak hanya di bidang pengelolaan sumber daya alam
tapi dalam arti yang lebih luas, kesempatan itu harus ada dan banyak, antara
perempuan dan laki-laki, demi sebuah harmonisasi dalam banyak hal, termasuk
untuk menjaga bumi.
0 comments:
Post a Comment