Cerita fiktif
pertama di sebuah sekolah
“Dilarang
membawa handphone selama proses
pembelajaran,” ucap seorang guru lantang.
“Ededeh,” ucap beberapa siswa hampir serempak.
“Dilarang membuat keributan,” sambung guru
tersebut.
“Ededeh,” lagi-lagi para siswa menyahut.
“Besok kita akan bangun pukul 3 subuh,” lanjut
guru tersebut.
Yang terdengar dari siswa, masih saja sama,
“ededeh.”
Cerita fiktif
kedua di sebuah kantor
“Ededeh, Pak Bos menambahkan lagi tugas untuk
saya,” keluh pegawai A.
“Memang begitu Pak Bos, kerja ditambah, tapi
gaji tidak, “ imbuh pegawai B.
Mereka pun terdengar bersamaan “ededeh.”
* * *
Gambaran cerita fiktif pertama dan kedua di atas
adalah bagian dari manusia bermental “ededeh,” manusia yang selalu mengeluh dengan
berucap “ededeh.”
Manusia bermental “ededeh” ini adalah mereka
yang hanya menguras energi dan memunculkan perasaan negatif. Padahal, jika
mereka sadari, situasi pun tidak menjadi lebih baik dengan berucap “ededeh.”
Dibalik sedikitnya hal yang bisa dikeluhkan,
selalu banyak hal yang bisa disyukuri. Jadi, sebenarnya, mereka yang berucap
“ededeh,” adalah mereka yang tidak bersyukur bahkan tidak mampu mengambil
hikmah dari setiap kejadian. Padahal, dengan bersyukur, segala manfaat bisa
ditambahkan. Selain itu dengan bersyukur, energi positif akan semakin
meningkat. Hal senada pun dipaparkan oleh Hans Seyle sebagai seorang pakar stress
yang memaparkan bahwa sikap bersyukur menghasilkan energi emosional lebih
daripada sikap yang lain dalam hidup ini.
* * *
Catatan ini sebagai bagian introspeksi untuk
berbagai keluhan yang pernah ada, terkhusus yang saya lakukan. Semoga nantinya
kita terus belajar untuk terus bersyukur dan tidak lagi sering mengeluh. Sehingga pada
akhirnya, kita bukan bagian dari mereka, manusia bermental “ededeh.”
Tulisan
ini diikutsertakan dalam tantangan #RamadhanDay3
#SIGiMenulisRamadhan Baca tulisan SIGiers lainnya
Jabbar
: begooottt.wordpress.com
Kyu : kyuuisme.wordpress.com
Inov : inanovita.blogspot.co.id