Sunday, March 23, 2025

Minggu Pagi di Pustaka: Plastik, Ecobrick, dan Seorang Anak Kecil

 


Sehari setelah pulang dari Desa Lapeng, Pulo Aceh, plastik-plastik kembali terkumpul.

 

Tumpukan plastik ini juga kami bawa pulang dari Pulo, karena tidak sempat kami buat ecobrick di sana, jadilah sebagai "oleh-oleh" kembali ke daratan, tepatnya di Peukan Bada.

 

Meskipun hari Minggu, yang bagi sebagian orang waktu yang tepat untuk istirahat, tapi badan menggerakkanku menuju pustaka. Di sana, memang sudah banyak botol Ecobrick yang sudah kami buat selama 5 tahun ini.

 

Saat sibuk dengan proses log-in di aplikasi gobrick untuk memberi penomoran pada ecobrick yang sudah dibuat, anak kedua saya bernama Lubna (2,5 tahun) ternyata sibuk dengan aktivitas menggunting plastik. Potongan kecil plastik itu dimasukkan ke dalam 1 wadah. Proses ini memang sering dilakukan baik oleh saya dan suami, pun para relawan Rumah Relawan Remaja agar postingan plastik tersebut tidak berserakan.

 

Sepertinya itulah cara Lubna, anak 2,5 tahun mengamati orang dewasa di sekitarnya, yang berjuang mengolah plastik yang sudah dipakai agar tidak kembali mencemari bumi, dengan membuat ecobrick.

 

Peukan Bada, 23 Ramadan 1446 Hijriah

 

 

 

Saturday, March 22, 2025

Tiga Pemuda, Satu Motor, dan Pelanggaran di Bulan Suci

 



Hari ke-22 Ramadan. Perjalanan pulang dari Pulo Aceh menuju Banda Aceh siang itu terasa panjang. Matahari bersinar terik, tapi suasana Ramadan seharusnya membuat jalanan lebih tenang, penuh dengan ketundukan hati. Namun, pandanganku dan suami justru tertumbuk pada pemandangan yang tidak biasa: tiga pemuda mengendarai satu motor, sambil asyik mengunyah roti.

 

Aceh, tanah Serambi Mekah, di mana Ramadan dihormati dengan khidmat. Tapi di sini, tiga pemuda ini justru melanggar dua hal sekaligus: tidak berpuasa, dan membuang sampah sembarangan.

 

"Ini Ramadan! Macam bukan di Aceh saja," tegur suamiku sambil terus berkendara di samping motor ketiga pemuda tersebut. 


Wajah mereka langsung berubah. Kaget, malu, dan salah tingkah. Salah seorang dari mereka buru-buru melemparkan bungkus roti ke jalan. Melihat itu, suaraku keluar "Sudah tidak puasa, buang sampah sembarangan lagi? Astaghfirullah.


Motor ketiga pemuda yang tidak puasa itu semakin dilaju cepat untuk menghindari kami. Sepanjang perjalanan sampai di rumah pun, aku melakukan refleksi bahwa Ramadan seharusnya menjadi bulan di mana kita lebih peka—bukan hanya pada ibadah, tapi juga pada lingkungan dan sikap kita di depan umum.

 


Friday, March 21, 2025

From Garden to Table



Selanjutnya, saya mau cerita tentang Ramadan hari ke-21, masih di Kebun Impian bersama keluarga kesayangan Rumah Relawan Remaja. Hari itu, seperti biasa, yang piket masak mencari sesuatu di area kebun untuk dimasak. Senang sekali, kita bisa juga saling mengingatkan tentang pentingnya real food, apalagi from garden to table seperti yang kami lakukan di Kebun Impian ini

 

Hari ke-21 Ramadan tiba dengan cahaya matahari yang hangat menyelinap melalui celah daun-daun rindang di Kebun Impian. Udara pagi masih segar, membawa aroma tanah basah dan dedaunan hijau yang baru saja dibasahi embun. Seperti biasa, tim Rumah Relawan Remaja—aku, Bang Romi, Salam, Lubna, Uma, Abu, Yanah, Maulidin, dan Afdhal—sudah bersiap mengisi hari dengan aktivitas penuh makna.

 

Hari ini, giliran Uma dan Putri yang bertugas memasak untuk sahur dan berbuka. Tapi di sini, masak bukan sekadar membuka kulkas atau belanja ke warung. Kami punya kebun sendiri, penuh dengan sayuran segar yang siap dipanen. From garden to table—prinsip yang kami pegang teguh di sini.

 

Thursday, March 20, 2025

Petualangan Hari ke-20 Ramadan di Desa Lapeng : Pagi yang Syahdu bersama tim Rumah Relawan Remaja


Hari kedua kami di Desa Lapeng dimulai dengan keheningan yang menenangkan. Matahari belum sepenuhnya bangkit, tetapi langit sudah mulai memancarkan cahaya keemasan yang perlahan menyapu kegelapan. Suara jangkrik malam mulai digantikan oleh kicauan burung-burung kecil yang bersahutan dari balik pepohonan. Di tengah Kebun Impian ini, udara terasa begitu segar, seolah setiap tarikan napas membersihkan jiwa.

Kami—saya, suami saya Bang Romi, serta dua anak kami, Salam dan Lubna—bersama tim hRumah Relawan Remaja lainnya, yaitu Uma, Abu, Yanah, Maulidin, dan Afdhal, memulai hari dengan aktivitas mandiri. Seperti biasa, Ramadan mengajarkan kami untuk mengisi waktu dengan hal-hal yang bermakna. Beberapa dari kami memilih untuk mengaji, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang menenangkan hati. Yang lain asyik membaca buku, menikmati setiap kata sambil sesekali menengok ke luar jendela, di mana alam seakan tersenyum menyambut kami.

Kebun Impian dan Keindahan yang Dijaga

Desa Lapeng bukan sekadar desa biasa. Di sini, alam seolah dirawat dengan penuh cinta. Pepohonan rindang, hamparan sawah yang hijau, dan udara bersih yang jarang ditemui di kota. Kami tinggal di sebuah kebun kecil tempat tim Rumah Relawan Remaja belajar tentang pertanian organik.

Setiap pagi, kami disambut oleh aroma tanah yang baru disirami embun, dicampur dengan wangi  bunga-bunga liar yang bermekaran.

Saya duduk di "Rumoh shelter", menyelesaikan halaman demi halaman Al-Qur'an yang sedang kubaca. 

Aktivitas membaca tersebut nampak hingga siang hari. Menjelang sore, kami pun berkumpul di area dapur, menyaksikan 2 orang relawan piket masak hari itu.  Suasana dapur riuh rendah dengan 

obrolan dan tawa. Kadang-kadang, obrolan tentang menu yang sedang dimasak jadi tema utama yang membuat tertawa. 

Menu buka puasa di Ramadan ke-20 ini  sederhana tetapi terasa begitu istimewa karena dimasak bersama. Kami duduk melingkar di area makan depan dapur sambil berbagi cerita.

Setelah masakan selesai, sebelum berbuka puasa, ada yang memutuskan untuk berjalan-jalan ke bagian belakang Kebun Impian untuk mencari kerang. Meski akhirnya pulang dengan tangan kosong, semuanya nampak senang petang itu.

Refleksi di Hari Ke-20 Ramadan 

Saat saya mencabut rumput di kebun, saya merenungkan hari ini. Betapa beruntungnya kami bisa merasakan kedamaian seperti ini. Di hari ke-20 Ramadan ini, bukan hanya lapar dan dahaga yang kami rasakan, tetapi juga kebersamaan, kesederhanaan, dan keindahan alam yang Allah berikan.

Tim Rumah Relawan Remaja ini bukan hanya sekadar teman, tapi sudah seperti keluarga. Setiap orang membawa cerita, tawa, dan pelajaran sendiri.

Saya kembali tersenyum. Betapa indahnya hidup ketika kita bisa berbagi, belajar, dan mencintai alam bersama orang-orang terkasih.

Pulo Aceh, 20 Ramadan 1446 Hijriah

Wednesday, March 19, 2025

Berbuka Puasa di Lapeng: Menemukan Hening Ramadan di Ujung Negeri

 


Sudah sembilan tahun Rumah Relawan Remaja berkegiatan di Desa Lapeng, tapi setiap kali kembali, rasanya seperti pertama kali. Kali ini, kami datang dengan kerinduan yang lebih besar: ingin merasakan lagi heningnya Ramadan di desa ini—saat waktu terasa lambat.

 

Kapal nelayan yang membawa kami hari itu masih sama, tapi cerita dibaliknya selalu baru. Kali ini, momen berpuasa ditemani semilir angin sepanjang perjalanan, membuat mata menolak untuk tidur. Hingga , tiada terasa perjalanan lebih dari 2 jam begitu saja berlalu.

 

Ketika mata terbuka, tampaklah deretan kapal kecil bersandar di pelabuhan. Orang-orang berkumpul di depan kami, menunggu kapal yang kami tumpangi ini berhenti. Ada yang menjemput sanak keluarga, ada juga yang menunggu barang kiriman dari kota Banda Aceh.

 

Setelah tiba di Pelabuhan Gugop, perjalanan kami lanjutkan menggunakan motor yang kami bawa dari Rumah Relawan Remaja. Total, ada 3 motor.

 

Sekitar 20 menit, dari Gugop ke Lapeng. Setelah memasuki gerbang Lapeng, tidak lama kemudian di depan masjid, berdiri beberapa anak yang kemudian memanggil namaku “Kak Ammy”, kujawab dengan lambaian tangan, karena motor memang tak biasanya berhenti. Lambaian tanganku pun berarti sapaan balik dan menandakan kedatanganku kembali ke desa ini. Besok, akan saya ceritakan lagi pengalamaan Ramadan di sini.


Intinya, menjelang petang, kami tiba dengan disambut pemandangan hijau dari Kebun Impian desa Lapeng. Hening, namun menenangkan!

 

Pulo Aceh, 19 Ramadan 1446 Hijriah



Tuesday, March 18, 2025

Tidak Perlu Membakar Sampah Daun: Mari Jaga Lingkungan dan Kesehatan Kita

 


Akhir-akhir ini, saya semakin sering melihat orang membakar sampah daun di sekitar rumah atau lingkungan tempat tinggal. Meskipun terlihat sebagai cara yang cepat dan praktis untuk membersihkan halaman, membakar sampah daun sebenarnya justru menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan. Padahal, daun adalah bahan organik yang bisa terurai secara alami.

 

1. Daun Adalah Bahan Organik yang Bisa Terurai

Daun yang jatuh dari pohon adalah bagian dari siklus alam. Seiring waktu, daun akan terurai secara alami dan menjadi kompos yang menyuburkan tanah. Proses ini tidak memerlukan campur tangan manusia secara berlebihan. Dengan membiarkan daun terurai, kita justru membantu menjaga kesuburan tanah dan mengurangi penggunaan pupuk kimia.

 

2. Membakar Daun Menghasilkan Polusi Udara

Saat daun dibakar, asap yang dihasilkan mengandung berbagai zat berbahaya seperti karbon monoksida, partikel halus, dan senyawa kimia lainnya. Asap ini dapat mencemari udara yang kita hirup dan berdampak buruk pada kesehatan, terutama bagi orang yang memiliki masalah pernapasan seperti asma atau penyakit paru-paru. Selain itu, asap pembakaran juga bisa mengganggu kenyamanan tetangga sekitar.

 

3. Membahayakan Kesehatan Manusia

Partikel halus yang dihasilkan dari pembakaran daun dapat masuk ke dalam paru-paru dan aliran darah, menyebabkan iritasi saluran pernapasan, batuk, hingga masalah kesehatan yang lebih serius dalam jangka panjang. Anak-anak, lansia, dan orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah lebih rentan terhadap dampak negatif ini.

 

4. Membakar Daun Merusak Lingkungan

Selain mencemari udara, membakar daun juga dapat merusak ekosistem di sekitarnya. Asap dan abu hasil pembakaran dapat mengganggu kehidupan mikroorganisme di tanah dan tanaman di sekitarnya. Selain itu, pembakaran daun juga berkontribusi pada pemanasan global karena melepaskan gas rumah kaca seperti karbon dioksida ke atmosfer.

 

5. Alternatif yang Lebih Baik: Kompos atau Pengomposan

Alih-alih membakar, kita bisa memanfaatkan sampah daun untuk membuat kompos. Daun-daun kering bisa dikumpulkan dan diolah menjadi pupuk alami yang bermanfaat untuk tanaman. Proses pengomposan tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga membantu mengurangi volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir.

Cara membuat kompos dari daun cukup sederhana:

  • Kumpulkan daun-daun kering di satu tempat.
  • Campurkan dengan bahan organik lain seperti sisa sayuran atau rumput.
  • Biarkan terurai secara alami atau aduk secara berkala untuk mempercepat proses pengomposan.
  • Dalam beberapa minggu atau bulan, daun-daun tersebut akan berubah menjadi kompos yang siap digunakan.

 

6. Kesadaran Bersama untuk Lingkungan yang Lebih Baik

Mari kita mulai dari diri sendiri untuk tidak membakar sampah daun. Dengan melakukan hal kecil seperti mengompos daun, kita sudah berkontribusi besar dalam menjaga kesehatan diri sendiri dan lingkungan sekitar. Ajak juga tetangga atau komunitas untuk melakukan hal yang sama. Semakin banyak orang yang sadar, semakin besar dampak positif yang bisa kita ciptakan.

* * *

Membakar sampah daun mungkin terlihat seperti solusi cepat, tetapi dampak negatifnya jauh lebih besar daripada manfaatnya. Dengan memilih cara yang lebih ramah lingkungan seperti pengomposan, kita tidak hanya menjaga kesehatan diri sendiri, tetapi juga turut serta dalam melestarikan alam. Yuk, mulai hari ini, hentikan kebiasaan membakar sampah daun dan beralih ke cara yang lebih baik!

 

Pulo Aceh, 18 Ramadan 1446 Hijriah

Monday, March 17, 2025

Ecobrick Pasca Buka Puasa Bersama: Langkah Kecil Kami untuk Lingkungan yang Lebih Hijau

 


Tanggal 14 Maret 2025 menjadi hari yang tak terlupakan bagi kami, tim relawan Rumah Relawan Remaja. Setelah sukses menyelenggarakan acara Buka Puasa Bersama yang meriah, kami dihadapkan pada kenyataan bahwa acara besar seperti ini seringkali meninggalkan jejak sampah, terutama plastik. Kemasan terigu, detergen, dan berbagai jenis plastik lainnya menumpuk di sudut ruangan. Namun, alih-alih membiarkannya berakhir di tempat pembuangan akhir, kami memutuskan untuk mengambil tanggung jawab. Kami pun menggelar kegiatan lanjutan: mengolah plastik-plastik tersebut menjadi ecobrick. Hal ini memang sering kami memang sering kami lakukan

 

Menyadari Jejak Plastik Kami

Acara Buka Puasa Bersama berlangsung dengan lancar. Ratusan orang datang, menikmati hidangan berbuka, dan merayakan kebersamaan di bulan Ramadhan yang penuh berkah. Namun, di balik kegembiraan itu, kami menyadari bahwa setiap acara besar selalu meninggalkan jejak sampah. Plastik-plastik bekas kemasan makanan, minuman, dan bahan-bahan lainnya menumpuk. Sebagai tim relawan yang peduli lingkungan, kami tidak bisa menutup mata.

 

Kami pun berkumpul beberapa hari setelah acara untuk merencanakan langkah selanjutnya. Ecobrick, bagi kami, bukan sekadar solusi untuk mengurangi plastik, tetapi juga cara untuk mengedukasi diri sendiri dan masyarakat tentang pentingnya mengelola plastik dengan bijak.

Mengenal Ecobrick: Solusi Sederhana untuk Masalah Besar

Bagi yang belum familiar, ecobrick adalah botol plastik yang diisi padat dengan plastic bekas hingga keras dan padat. Ecobrick bisa digunakan sebagai bahan bangunan alternatif, seperti untuk membuat furnitur, dinding, atau bahkan struktur kecil seperti taman. Konsepnya sederhana: alih-alih membuang plastik ke tempat sampah, kita memadatkannya ke dalam botol dan memberinya "kehidupan baru."

 

Hari itu, lantai pustaka dipenuhi dengan botol plastik bekas, gunting, dan plastik yang sudah kami kumpulkan dari acara Buka Puasa Bersama. Langkah pertama adalah memilah plastik yang sudah kami cuci dan keringkan. Kemudian, kami mulai memotong plastik-plastik tersebut menjadi bagian-bagian kecil. Ini adalah tahap yang membutuhkan kesabaran. Beberapa relawan tertawa sambil bercerita.

 

Setelah plastik dipotong kecil-kecil, kami mulai memasukkannya ke dalam botol. Ini adalah tahap yang paling menantang. Kami menggunakan tongkat kayu untuk memadatkan plastik ke dalam botol. Butuh tenaga dan konsentrasi agar botol benar-benar padat dan keras. Beberapa dari kami bahkan sampai berkeringat! Namun, melihat botol-botol yang perlahan terisi dan menjadi padat, rasa puas itu muncul. "Ini satu botol perlu dipadatkan agar sesuai standar ecobrick”

Kegiatan membuat ecobrick pasca Buka Puasa Bersama ini mengajarkan kami banyak hal. Kami belajar tentang tanggung jawab, kerja sama, dan pentingnya peduli terhadap lingkungan. Meskipun terlihat sederhana, ecobrick adalah bukti bahwa setiap tindakan kita, sekecil apa pun, bisa memberikan dampak positif bagi bumi.

 

Catatan Penutup

Kami berharap, cerita ini bisa menginspirasi pembaca untuk mulai peduli pada lingkungan. Mari bersama-sama mengurangi  plastik dan menciptakan bumi yang lebih hijau untuk generasi mendatang. Sampai jumpa di kegiatan ecobrick berikutnya! Kalau mau tanya lebih boleh DM @rumahrelawanremaajofficial