Thursday, January 16, 2014

Resensi Buku “Travel Writer”


Judul               : Travel Writer
Penulis            : Yudasmoro
Penerbit         : Metagraf
Tebal              :  xxii + 204 halaman

The world is a book, and those who do not travel read only one page (St. Augustine)
Bukan sebuah kebetulan, ketika saya meminjam buku ini dari seorang teman. Saat meminjamnya, dalam hati berkata “pasti semangat menulis travelingku akan bertambah.” Tidak kurang, itulah yang terjadi. Ditambah lagi, dengan terbitnya salah satu tulisan perjalananku dalam kumpulan tulisan yang diramu dalam sebuah buku Traveling Note Competition yang diterbitkan oleh Diva Press, 2013. Sehingga muncul sebuah mimpi, bahwa setelah ini akan kubuat sebuah buku “solo” tentang traveling
* * *
Di buku ini, pembaca akan menemukan cara-cara yang aplikatif untuk menjadi seorang travel writer. Diterangkan sebelumnya bahwa kebanyakan dari kita menganggap bahwa travel writer adalah gabungan murni antara penulis dan petualang. Padahal, yang berperan jauh lebih besar dari kesuksesan seorang travel writer adalah ilmu bisnis. Kepandaian seorang penulis dalam mengolah kosakata dan kecintaan akan dunia traveling saja belum cukup untuk menjamin. Layaknya pengusaha, travel writer juga harus memiliki visi dan misi dalam bidangnya. Target yang jelas, ide, kemampuan menyusun jadwal dan kedisiplinan mengejar target adalah beberapa kunci yang wajib dimiliki. Visi dan misi jelasdiperlukan.


Ada pun pendukung travel writer, yaitu: (1) powerfull blog, (2) mengenal media, (3) membangun jaringan, (4) kartu nama, (5) ide, (6) internet, (7) jejaring sosial, (8) komunitas.
Membaca buku ini, pembaca pun akan dipahamkan bahwa travel writer adalah seorang jurnalis. Jadi, ada beberapa gaya tulisan jurnalistik yang bisa dipergunakan dalam membuat reportase perjalanan.
1.    Jurnalisme sastra > Menurut penulis, ini adalah gaya jurnalistik yang mampu menghadirkan artikel yang terdiri dari olahan data yang sangat akurat, kemampuan mengoptimalkan bahasa dan alur cerita yang cenderung seperti tulisan novel (hlm. 41).
2.    Jurnalisme Naratif > penyampaian tulisan narasi memungkinan pembaca menikmati tulisan travel writer layakna menyaksikan sebuah film dokumenter. Tidak ada basa-basi, sederhana, tetapi tetap informatif dan menyentuh emosi (hlm. 46).
3.    Tulisan feature > berita yang dikemas dalam bentuk sederhana. Dikenal juga sebagai tulisan kreatif. Di gaya tulisan ini, travel writer lebih bebas menunjukkan pemikirannya.
Selanjutnya, penulis juga mendetailkan konsep wawancara yang menjadi poin penting selain dari menulis sehingga travel writer bisa mendapatkan banyak poin penting. Selain itu, tentu saja menggunakan fotografi sebagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.

Di bagian akhir buku ini, penulis mengajak pembaca untuk menjadi travel writer, dengan memberikan beberpaa pemahaman, sebagai berikut:
1.    Travel writer itu pedangan
2.    High risk
3.    Basisnya adalah jurnalistik
4.    Be creative

5.    It’s fun

0 comments:

Post a Comment