Thursday, December 28, 2017

Belajar Tentang Puisi

Catatan Pelatihan Rutin Forum Aceh Menulis ke-23

“Apa ini bisa dikategorikan puisi?” tanya DR. Wildan saat meminta kami mendefinisikan puisi.
“Iya,” jawab kami para peserta Forum Aceh Menulis 23 sore itu.
“Kenapa?” tanyanya lagi.
Mulailah kami mengeluarkan beberapa jawaban.
* * *
Sore yang menyenangkan kemarin (27/12), saya mengikuti kegiatan Pelatihan Rutin Forum Aceh Menulis (FAMe) di Kantor Kesbangpol Aceh. Di sana saya bertemu dengan para pegiat literasi yang memacu semangat saya lagi untuk mengembangkan bidang literasi, paling tidak untuk diri saya sendiri dulu J


Oiya, pemateri di Pelatihan Rutin FAMe ke-23 kemarin itu adalah Dr. Wildan Abdullah M.Pd, Wakil Rektor 1 ISBI Aceh dengan materi Teknik Menulis Puisi. DR. Wildan membawakan materi dengan menarik yang membuat peserta lebih interaktif dan semakin memahami “dunia dalam kata”. Berikut ulasan singkat materi Teknik Menulis Puisi dari DR. Wildan 
Puisi disebut-sebut sebagai karya sastra tertua yang pada mulanya berwujud wujud mantra, lalu dalam perkembangannya berubah menjadi pantun, gurindam, syair dan sebagainya. Puisi merupakan sesuatu yang dicipta, itulah yang disebut sebagai sastra. Dimana sastra merupakan satu dari tiga jenis karya tulis. Yang lainnya adalah tulisan yang merupakan hal yang sesungguhnya terjadi (misalnya sejarah dan karya ilmiah) dan tulisan khayal (imajinatif dan fantasi). Adapun ciri-ciri puisi adalah”           
1.      Saat ditulis, puisi tidak memenuhi margin kertas
2.      Merupakan karya sastra yang bersifat universal
3.      Menggunakan diksi (kata pilihan)
Penggunaan kata ini semakin indah jika membentuk rima/persajakan. Contohnya potongan sajak dari Rustam “bukan beta bijak berperi”
4.      Menciptakan daya bayang (imaji) tinggi
Seusai memaparkan materi dan membacakan puisi Chairil Anwar berjudul Senja di Pelabuhan Kecil, seorang peserta diminta membacakan puisi WS Rendra berjudul “Dimana Kamu De’ Na?” sebuah puisi mengenang Tsunami 2004.

Dimana Kamu De’ Na?
Akhirnya berita itu sampai kepada saya:
Gelombang tsunami setinggi 23 meter
melanda rumahmu.
Yang tersisa hanya puing-puing belaka.
Di mana kamu, De’Na?
Sia-sia teleponku mencarimu.
Bagaimana kamu, Aceh?
Di TV kulihat mayat-mayat
yang bergelimpangan di jalan.
Kota dan desa-desa berantakan.
Alam yang murka
manusia-manusia terdera
dan sengsara.

Di mana kamu, De’Na?
Ketika tsunami melanda rumahmu
apakah kamu lagi bersenam pagi
dan ibumu yang janda
lagi membersihkan kamar mandi?

De’Na, kita tak punya pilihan
untuk hidup dan mati.
Namun untuk yang hidup
kehilangan dan kematian
selalu menimbulkan kesedihan.
Kecuali kesedihan, selalu ada pertanyaan:
kenapa hal itu mesti terjadi
dengan akibat yang menimpa kita?

Memang ada kedaulatan manusia, De’Na.
Tetapi lebih dulu
sudah ada daulat alam.
Dan kini kesedihanku yang dalam
membentur daulat alam.
Pertanyaanku tentang nasib ini
merayap mengitari alam gaib yang sepi.

De’Na! De’Na!
Kini kamu menjadi bagian misteri
yang gelap dan sunyi.
Hidupku terasa rapuh
oleh duka, amarah, dan rasa lumpuh.
Tanpa kejernihan dalam kehidupan
bagaimana manusia bisa berdamai
dengan kematian?

De’Na, hatiku menjerit pilu.
Di mana kamu? Bagaimana kamu?
Yang tak bisa kutolak dalam bayangan,
meski mataku terbuka atau terpejam,
adalah gambaran orang banyak berlarian,
dikejar gelombang 23 meter tingginya.
Dan lalu gempa yang menenggelamkan
gedung-gedung tinggi,
membelah jalan raya,
menjadi jurang menganga.
Ribuan manusia menjadi sampah
dalam badai.

Kedahsyatan daulat alam, De’Na!
Bukan sekedar kematian!
Inilah yang membuat aku gemetaran!
Tanpa menyadari ini
apakah arti kebudayaan?
Apakah pula arti puisi?
Hidup dan segala usaha manusia
barulah berarti dan nyata
bila ia menyadari batas kemampuannya.

De’Na,
apakah sekarang kamu lagi tersenyum
membaca sajakku semacam ini?

Puisi yang dibacakan kemarin penuh penghayatan. Membuat saya berkaca-kaca, termasuk kak Icut, teman baru saya. 

Overall, saya bahagia dan banyak belajar mengikuti pertemuan kemarin. Semoga pekan depan pertemuan menyenangkan dengan tema lainnya juga akan punya cerita tersendiri di hati saya. Terima kasih teman-teman FAMe untuk kesempatan berharga ini.
foto bersama narasumber

0 comments:

Post a Comment