Wednesday, January 23, 2019

Pernikahan Kami Bukan Sekadar Penyatuan Dua Keluarga, Tapi Sebuah Pelajaran Untuk Dua Kebudayaan

Kelak akan kukisahkan padamu nak tentang pernikahan ummi dan ayah yang menggunakan adat Bugis dan Aceh. Ummi yakin, kamu akan bahagia mendengarnya.
bersama keluarga dari Makassar
Nak, pernikahan ummi dan ayah dilaksanakan pada tanggal 7 Oktober 2017. Hari itu, ummi dan ayah bahagia, perjuangan akan cinta dan cita-cita seolah terangkum menjadi sejuta senyum setelah janji akad tertunaikan. Hari itu semakin dilengkapi dengan kebahagiaan merasakan langsung prosesi pernikahan adat suku Bugis. "Tenang saja nak, kapan-kapan Ummi ceritakan tentang adat pernikahan suku ummi yah. Kali ini, izinkan ummi bercerita tentang adat pernikahan ayahmu, yaitu adat Aceh Selatan yang diadakan beberapa bulan setelah akad nikah dan resepsi ummi dan ayah di kota Makassar.

Nak, resepsi pernikahan ummi dan ayah di Aceh Selatan diadakan pada tanggal 3 dan 4 Februari 2018. Prosesinya sebenarnya panjang dan berhari-hari, namun karena akad telah tertunaikan dan ummi berasal dari provinsi lain, akhirnya hanya sebagian prosesi yang dilaksanakan. Tentu saja ini tak mengurangi kesakralan dan kebahagiaan kami. Meskipun begitu, sebelum kami datang, keluarga ayah melewati beberapa proses seperti permohonan maaf dan izin kepada pemerintah setempat serta bermufakat bersama keluarga besar

Tanggal 3 Februari 2018, tepatnya setelah shalat isya, diadakan Peusijuk, berarti didinginkan. Ummi dan ayah didudukkan bersebelahan. Setelah itu, secara bergantian keluarga ayah memberikan tepung tawar kepada ummi dan ayah sebagai simbol agar keluarga kita "adem" dan menggunakan otak dingin dalam kehidupan kedepannya. Lalu, ummi dipasangkan inai sepanjang malam hingga pagi tiba. Kalau di adat pernikahan Bugis, ini seperti prosesi Mapacci.
prosesi Peusijuk oleh orang tua suami
Keesokan harinya d tanggal 4 Februari 2018, setelah mengenakan pakaian tradisional Aceh, ummi dan  ayah beserta rombongan keluarga ummi; termasuk kakek, nenek dan  adik ummi yang datang dari Makassar mengunjungi rumah ayah. Hari itulah, ummi diantar sebagai istri. Prosesi ini disebut Tueng Dara Baro berarti mengundang mempelai perempuan ke rumah mempelai laki-laki.
persiapan menuju rumah suami


penyambutan

Sebelum memasuki rumah dan duduk di kursi pelaminan, rombongan ummi disambut oleh tarian Ranup Lampuan yang diiringi oleh alunan Serunai Kale, sebuah alat musik tradisional Aceh. Ummi dan ayah lalu dipersilahkan duduk dipelaminan. Setelah itu, diadakan prosesi Laga Ayam yang berarti adu ayam. Di prosesi ini, tangan ummi dan ayah yang beradu cepat. Setelah itu, kami saling menyuapi aneka hidangan dengan beragam rasa sebagai gambaran bahwa setelah pernikahan akan ada beragam hal yang kami rasakan. Kemudian, kami saling meminumkan air yang telah dihidangkan. Lalu, bersalaman dengan para tamu yang merupakan undangan dari keluarga ayah. Resepsi ini berlangsung hingga tengah malam. Di malam hari, diadakan pentas seni tradisional yang dimainkan oleh para anggota sanggar seni Seulaweut, UKM Seni UIN Ar-Raniry yang ayah datangkan langsung dari Banda Aceh. Nak, malam itu mereka tampil sangat maksimal menunjukkan beberapa kesenian semisal Rapa'i Geleng dan Saman Gayo. 
anggota Sanggar Seni Seulaweut





Nak, semoga cerita pernikahan ummi dan ayah di Aceh Selatan menjadi tambahan pemahamanmu tentang kebudayaan. Hingga kamu pun semakin belajar bahwa pernikahan kami; ummi dan ayahmu bukan sekadar penyatuan dua keluarga, tapi juga pelajaran dua kebudayaan. Nanti, ummi akan cerita lagi tentang prosesi pernikahan adat Bugis yah, Insya Allah.
akan ada tulisan tentang adat pernikahan suku Bugis. "Just wait!" :)

tulisan ini sebagai bagian pemenuhan tantangan ke-2 Kata Hati Production

0 comments:

Post a Comment