Friday, April 22, 2016

Kartini Abad 21, Harmonisasi dan Bumi

Sebuah Refleksi Hari Kartini dan Hari Bumi

Stella, saya tahu jalan yang hendak saya tempuh ini sukar. Banyak duri dan halangannya. Begitu pula banyak lubangnya. Jalan itu berbatu serta berliku-liku. Jalan itu belum dirintis. Dan biarpun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, saya akan mati dengan perasaan bahagia sebab jalannya telah dirintis.
(Kutipan Surat Raden Ajeng Kartini kepada Stella, salah seorang teman korespondensinya).

Melihat salah satu kutipan surat diatas, seyogyanya menggelitik ketika peringatan hari lahir Kartini hanya dimaknai dengan peragaan pakaian adat tradisional ataupun beraneka ragam perayaan yang bermakna seremonial belaka. Padahal, sumbangsih yang diberikan oleh salah satu pahlawan nasional ini adalah pemikiran yang dituangkan dalam argumentasi sebagai isi surat-suratnya. Argumentasi yang berupa gagasan untuk terlepas dalam penjara patriarki sehingga perempuan dan laki-laki mendapatkan kesempatan yang sama, khususnya pendidikan.

Perjuangan yang dilakukan Kartini, pun dengan para pahlawan perempuan Indonesia lainnya seperti Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Dewi Sartika atau Rasuna Said, menunjukkan jalan terang dalam membuka cakrawala dan kesempatan dalam ranah yang disebut keadilan. Perjuangan inilah yang mengantarkan banyak perempuan memperoleh kesempatan yang sama dalam banyak hal, misalnya pendidikan, pekerjaan, sosial maupun lingkungan. Yang menjadi pertanyaan besar, apakah kesempatan itu sekarang benar-benar sama? Tentu saja belum. Tapi, Kartini seyogyanya tetap bahagia karena jalan yang telah dirintisnya sudah terbuka, sesuai dengan isi suratnya kepada Stella.

Ada dua faktor dalam era postmodernisme ini yang menyebabkan keadilan  itu belum seutuhnya berpihak pada perempuan. Pertama, dominasi sistem top-down yang menghegemoni kepentingan menutup akses sistem bottom-up sebagai salah satu ciri demokrasi yang diagung-agungkan. Kebanyakan pengambil kebijakan masih menganggap bahwa perempuan adalah second sex yang mengikuti semua keputusan yang telah disepakati. Kesempatan yang diberikan belum sepenuhnya terbuka secara lebar. Perspektif inilah yang menutup pintu keadilan itu.

Kedua, kesempatan yang tidak bersambut. Hal ini ditujukan untuk para perempuan. Kesempatan yang ada bisa saja dilihat dari kaca mata yang lebih luas. Banyak pintu terbuka, entah berupa celah sempit atau pun luas, yang belum dilihat secara jeli. Disinilah, kemampuan sebagai perempuan harus ditonjolkan , apalagi untuk keluar dalam paradigma apatis, hedonis dan pragmatis. Perempuan harus menunjukkan kemampuannya dalam banyak hal, sehingga mata dunia bisa terbuka, ini loh kami, para Kartini Abad-21.

Kemampuan perempuan dalam banyak hal itu, misalnya terjawantahkan dalam bidang lingkungan. Salah satunya adalah menjaga bumi sebagai sebagai tempat yang harus terpelihara sehingga memungkinkan manusia untuk “menumpang” lebih lama lagi.

Pada sebuah kesimpulan penelitian berjudul Gender dan Konservasi Sumber Daya Alam di Lembang Turunan, Kabupaten Tana Toraja yang ditulis oleh Novaty Eny Dungga, mengungkap bahwa kearifan perempuan dalam pemanfaatan sumber daya alam, terutama di dalam rumah tangga menjadi sangat dominan. Pergeseran peran sudah mulai terlihat di kalangan masyarakat di Lembang Turunan. Hal ini diharapkan dapat memberi ruang yang lebih luas pada peluang kerjasama antara perempuan dan laki-laki. Prinsip ma’bage rata dalam masyarakat Toraja di sini sangat berarti dalam mempertahankan kelestarian sumber daya alam di daerah tersebut.


Hasil penelitian ini menjadi sebuah contoh bahwa untuk memperoleh keadilan, tidak hanya di bidang pengelolaan sumber daya alam tapi dalam arti yang lebih luas, kesempatan itu harus ada dan banyak, antara perempuan dan laki-laki, demi sebuah harmonisasi dalam banyak hal, termasuk untuk menjaga bumi. 

0 comments:

Post a Comment